
Judul di atas sengaja saya kutip dari buku tulisan wartawan senior, H Sofyan Lubis. Bedanya, jika Pak Sofyan banyak mengisahkan tentang pengalaman pribadi selama bergelut di dunia jurnalis. Dengan judul tersebut, saya mengisahkan tentang cara kerja wartawan kita saat ini. Bagi saya, judul tersebut cukup menggelitik dan memancing pembaca untuk mengikuti kisahnya. Begini ceritanya…
Seorang rekan saya mencak-mencak setelah membaca berita yang menyorot tentang dirinya di sebuah media massa. Usut punya usut, ternyata berita yang ditulis tidak balance, karena tidak dikonfirmasikan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Padahal, dalam pemberitaan, jelas-jelas ada komentar rekan saya tadi.
Tentu saja, hal itu membuat telinga rekan saya yang juga seorang jurnalis memerah. Rekan tadi pun berniat untuk melaporkan media tersebut ke polisi, karena dinilai telah mencemarkan nama baiknya.
Sebagai seorang yang juga pelaku pers, begitu mendengar yang dikisahkan rekan tadi, saya membayangkan bahwa rencana melaporkan wartawan sekaligus penanggungjawab media yang tidak lain adalah rekan saya juga, bakal menjadi berita gurih. Atau paling tidak, ungkapan, Jeruk Makan Jeruk akan jadi kenyataan.
Saya lalu menghubungi penanggungjawab media dimaksud melalui ponselnya. Kebetulan, saat itu dia sedang berada di luar daerah. Saya ingin memastikan apakah benar berita yang dimuat tidak dikonfirmasikan terlebih dahulu.
Awalnya, penanggungjawab media berkilah jika seluruh isi berita tidak ada komentar rekan saya. Semua yang ditulis adalah perkataan sumber yang dia konfirmasi. Saya kemudian menyarankan agar dia mencermati lagi isi beritanya. Akhirnya, penanggungjawab media sadar bahwa yang diberitakan itu memang memuat komentar rekan saya tadi.
“Oh, iya ya. Tapi, sebaiknya jangan dulu dilapor ke polisi. Gunakan dulu hak jawab. Saya akan beri ruang untuk menggunakan hak jawab,” pintanya.
Apa pun ending dari persoalan yang melilit dua rekan saya tadi, yang jelas itu adalah satu dari sederet contoh cara kerja wartawan saat ini. Apalagi, persoalan tersebut justru terjadi di kalangan pelaku pers sendiri. Seperti yang saya katakan tadi, Jeruk Makan Jeruk.
Sepintas, yang dilakukan pengelola media tadi membuktikan profesionalisme kerja. Dia sadar bahwa yang disorot adalah rekan sendiri sesama profesi. Namun, hal itu bukan alasan atau aral untuk tidak dipublikasikan. Hebat bukan?
Bagi saya, hal itu cukup luar biasa. Kendati tahu yang dipojokkan adalah rekan se-profesi. Namun, yang namanya kasus dan dinilai layak dikonsumsi masyarakat luas, tidak ada istilah tawar-menawar. Harus dipublikasikan. Tidak ada kata kompromi, seperti yang kerap terjadi pada lembaga atau instansi lain yang sarat dengan praktik KKN.
Namun, sayangnya, sikap profesionalisme yang diperlihatkan penanggungjawab madia tadi kurang kontrol. Tidak ada cek dan recek atau cover both side. Atau mungkin, dia lupa melakukan semua itu sebelum menurunkan beritanya. Akibatnya, celah hukum baginya menganga. Itu merupakan sebuah kecolongan dan menjadi kesalahan fatal.
Sekali lagi, ini terjadi di kalangan pelaku pers sendiri, yang nota bene adalah sama-sama bergelut di dunia jurnalis.
Lalu, bagaimana jika yang dihadapi atau yang disorot adalah masyarakat umum atau elemen lainnya? Saya pastikan, oknum wartawan akan lebih buas lagi. Inilah yang dikuatirkan.
Selama ini, yang saya amati banyak tulisan oknum yang menamakan diri wartawan cukup merugikan pihak tertentu. Oknum wartawan seperti itu biasanya menulis berita tanpa mempertimbangkan etika, kaidah dan kode jurnalis. Bahkan, ada tulisan oknum wartawan hingga menyentuh ke masalah privasi seseorang yang sebenarnya bukan area wartawan untuk masuk.
Untungnya, selama ini (yang saya tahu) belum ada reaksi serius dari pembaca atau mereka yang merasa dirugikan akibat sebuah pemberitaan. Entah apa alasannya, sehingga perilaku oknum wartawan yang tidak sesuai kaidah jurnalis terus menggelinding di permukaan.
Padahal, dalam kode etik jurnalis sudah ada batasan-batasan kerja bagi seorang pelaku pers. Namun, yang jelas hal itu disebabkan karena pengetahuan jurnalis yang minim, atau bisa juga disebut tindakan sebagai tindakan masa bodoh, sehingga terjadi banyak pelanggaran. Oknum wartawan seperti inilah yang merusak citra wartawan sebenarnya. Sehingga keberadaan pelaku pers kurang begitu simpatik bagi sebagian masyarakat.
Okelah, jika terdapat kesalahan dalam penulisan, penanggungjawab media bisa saja memberikan hak jawab, hak koreksi atau meminta maaf atas kesalahan pemberitaan yang dipublikasikan. Namun, tidak serta-merta semua itu bisa dilakukan seperti yang diperkiraan. Karena bagi sebuah media yang benar-benar menjaga kredibilitas, meminta maaf adalah sesuatu yang terbilang cukup mahal. Karena hal itu menunjukan keteledoran wartawan dan juga penanggungjawab media. Sama artinya dengan membuka kelemahan dan aib sendiri. Selain itu, tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan pembaca. Untuk mengantisipasi hal itu, biasanya bagi sebuah media yang sudah memiliki kepercayaan pembaca, wajib hukumnya mengecek kembali seluruh kalimat dalam pemberitaan sebebelum dipublikasikan.
Sebagai seorang wartawan (walau baru jadi wartawan 2000) saya prihatin dengan perkembangan dan cara kerja sebagian wartawan belakangan ini. Bagi saya, profesi yang boleh dibilang memiliki taring cukup tajam, mampu meyerang siapa saja, sama dengan profesi supir. Dimana sebelah kaki mereka berada di penjara, sedangkan kaki lainnya ada di dalam kubur.
Ingatkah kita dengan kasus Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), wartawan Bernas yang dibunuh pada 1996 dan hingga kini belum terungkap pelakunya? Padahal, berdasarkan data yang dihimpun tim pencari fakta PWI, kuat dugaan Udin dibunuh berkaitan dengan berita yang ditulisnya. Bukan lantaran Wanita Idaman Lain (WIL) versi polisi saat itu.
Sulit memang memberantas oknum wartawan yang bekerja diluar aturan. Mereka itu biasanya diistilahkan wartawan instan dan kerap diistilahkan wartawan Bodrex atau wartawan Amplop. Mereka sewaktu-waktu bergentanyangan dan siap mengitimidasi korbannya.
Wartawan seperti itu hanya bisa diseleksi secara alami yakni, oleh pembaca itu sendiri. Pembaca tentunya paham mana wartawan yang benar-benar melakukan tugasnya, dan mana yang bukan. Mana wartawan yang dapat dipercaya dan mana yang tidak.
Wartawan instan atau apa pun namanya, biasanya pada momen tertentu tumbuh ibarat jamur di musim hujan. Sebaliknya, pada momen lain gugur bagai dedaunan di musim kemarau. Ini bergantung mood dan suasana.
Pada momen sedang ada pelaksanaan proyek atau kegiatan yang berkaitan dengan keuangan, bisa dipastikan muncul banyak wartawan gadungan atau istilah lamanya Wartawan Tanpa Suratkabar (WTS). Mereka hadir dengan penampilan yang cukup meyakinkan. Tas pinggang, kamare poket, note book dan embel-embel lainnya. Pokoknya, lengkap dengan baret. Belum lagi saat berhadapan dengan sumber, sepertinya mereka bukan lagi wartawan. Namun, sudah berubah wujud menjadi penyidik dan siap mem-pressure dan intimidasi korbannya.
Biasanya, mereka belum bersedia pamit sebelumnya “mangsa” lemah tak berdaya dan merogoh sejumlah uang.
Padahal, sebenarnya, wartawan itu bukan dilihat dari penampilannya. Tetapi dinilai dari karya jurnalisnya. Inilah persoalan besar yang dihadapi dunia pers di daerah kita saat ini.
Hal yang perlu diingat, bahwa dalam menjalankan tugasnya, wartawan memang dilindungi oleh Undang-Undang (UU) yakni, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Dimana dalam UU tersebut mengatur sepenuhnya kebebasan pers. Namun, ingat, bahwa UU dimaksud bukan merupakan lex spesialis. Sehingga, jika terjadi delik pers aparat penegak hukum bisa saja tidak menerapkan UU Pers. Namun, menggunakan KUHP. Inilah yang harus diwaspadai, karena jika terjadi delik pers akan terjadi kurangnya perlindungan hukum bagi wartawan. Dan itu sudah banyak terjadi.
Dengan diterapkannya Standar Kompetensi Wartawan (SKW) oleh Dewan Pers pada 2 Februari 2010 lalu, sebagaimana dimuat dalam Piagam Palembang yang ditandatangani 9 Februari 2010 di Palembang, setiap wartawan yang memiliki kompetensi di bidangnya akan mendapatkan sertifikat sesuai kemampuan. Kita berharap, penerapan SKW secepatnya juga diterapkan di Kota dan Kabupaten Bima, sehingga masyarakat bisa memilah dan memilah mana wartawan yang sebenarnya dan mana yang bukan. Semoga…by Yadin Warta