Bima, KM Sarei Ndai.-
Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada permen gula pun jadi. Demikian kira-kira yang dilakukan sejumlah bocah di sebuah desa terpencil di pinggiran Kabupaten Bima.
Untuk dapat menikmati permen, para bocah itu “dipaksa” mampu meraciknya sendiri.
Hasilnya, Hmm,,, ternyata tidak kalah dengan permen sungguhan. Hanya saja, cita rasa dan aromanya tidak bervariasi seperti permen yang dijual di kios-kios.
Maklum saja, karena cara membuatnya juga sangat sederhana. Hanya dengan bermodal gula pasir dan lampu petak, sebiji permen manis sudah bisa dinikmati oleh para bocah di Desa Keli, Kecamatan Woha Kabupaten Bima itu.
Mau tahu cara membuatnya? Saat disambangi KM Sarei Ndai, para bocah itu tidak sungkan-sungkan memperagakannya. Pertama-tama, mereka menyiapkan gula pasir secukupnya, lalu menyiapkan lampu petak dari minyak tanah. Selanjutnya, gula dimasukkan ke sendok makan dan dihangatkan di atas api dari lampu petak tersebut.
Tidak berapa lama, gula mencair dan siap untuk dibekukan kembali. Sementara itu, seorang bocah lainnya sudah siap dengan daun pisang dan sepotong lidi. Setelah gula benar-benar mencair langsung dituang pada daun pisang yakni tepat pada salah satu ujung lidi. “Harus dituang di atas daun pisang supaya cairan gula cepat dingin dan membeku,” kata Anhar, salah satu bocah.
Setelah dingin dan membeku gula-gula hasil kreasi para bocah tersebut sudah dapat dinikmati. “Enak Pak, manis…” kata Anhar lagi.
Sumiati salah satu orang tua bocah mengatakan, membuat permen seperti itu sudah dilakukan secara turun-temurun. Hanya itulah cara warga setempat untuk bisa menikmati permen. “Maklum saja, dulu kampung kami ini sangat terpencil. Jarang ada warga yang bisa menikmati makanan yang enak,” katanya. (Yad)
Arsip
All posts for the day Februari 19th, 2011
Bima, KM Sarei Ndai.-
Gadu atau dalam bahasa Bima disebut Lede merupakan makanan tradisional bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan. Dulu, umbi-umbian yang tumbuh di pegunungan itu selalu dikonsumsi warga. Bahkan, di wilayah tertentu, Gadu sempat menjadi makanan pokok pengganti beras.
Seiring tingkat kesejahteraan masyarakat, Gadu pun mulai tersisih. Saat ini, dipastikan sudah tidak ada lagi warga yang mengonsumsi Gadu sebagai makanan pokok. Bahkan, dalam beberapa tahun kedepan, makanan tersebut kemungkinan sudah tidak bisa lagi dinikmati. Bukan lantaran tumbuhan itu sudah tidak ada. Namun, disebabkan sudah jarang warga yang mau mengambilnya.
“Baru tahun ini lagi ada warga yang mengambil Gadu. Tahun lalu, tidak satu pun warga yang mengambilnya di hutan,” kata Salmah, warga Desa Keli, Kecamatan Woha ditemui, Selasa.
Selama ini, kata Salmah, masyarakat Keli dikenal sebagai penghasil Gadu. Bahkan, Gadu yang dijual di pasar Tente umumnya diproduksi oleh masyarakat Keli. Warga mengambil Gadu hanya pada saat senggang yakni, setelah aktivitas di lahan pertanian sudah tidak ada. “Biasanya, warga mengambil Gadu untuk menunggu datangnya musim tanam berikutnya,” katanya.
Lanjut Salmah, dulu Gadu dikonsumsi warga seperti nasi. Dimakan bersama lauk. Namun, sekarang Gadu hanya sebagai makanan tambahan saat santai. Sebagian warga menyantapnya dengan bumbu kelapa dicapur gula pasir.
“Tapi ingat, bagi yang tidak biasa mengonsumsi makanan jenis ini harus berhati-hati, karena bisa keracunan,” katanya.
Lalu, bagaimana proses pembuatannya? Dijelaskan Salmah, pertama-tama Gadu dikupas kulitnya. Kemudian, diiris kecil-kecil. Setelah itu, diberi garam secukupnya dan disimpan selama satu malam. Hal itu, untuk menetralisir racun yang terkandung dalam Gadu. Proses selanjutnya yakni, dengan merendamnya selama sekira delapan jam di sungai. Itu dilakukan untuk memastikan bahwa racunnya sudah dibersihkan.
“Setelah itu, Gadu pun siap dikukus. Akan lebih enak jika disantap dengan parutan kelapa ditambah gula pasir,” katanya.
Selain itu, katanya, Gadu juga bisa dikonsumsi dengan cara digoreng seperti krupuk. Tentuya, setelah dijemur hingga kering. “Rasanya sangat gurih,” imbuhnya. (Yad)
Bima, KM Sarei Ndai.-
Sedikitnya 300 massa dari 5 desa yang ada di Kecamatan Parado, Ahad (12/2) melakukan aksi demo menolak kehadiran investor tambang mas yakni Valey Sumbawa maining.
Aksi demo itu dilakukan masyarakat Parado yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Parado. Aksi berlangsung di depan kantor camat parado, bahkan sudah di bakar bas camp PT VSM yang berlokasi di perbukitan yang berjarak tempuh sekitar 4 jam dari Desa Kuta.
Pejabat PPID Polres Bima Kabupaten IPDA Abdullah mengatakan, aksi aliansi parado melakukan demo penolakan penambangan mas dan tembaga. Kegiatan penambangan sudah berlangsung lama, namun baru sekarang di ketahui masyarakat parado. “hari Ahad (12/2) lalu berlangsung aksi demo penolakan invertor mas di Parado,” ujar Abdullah, senin di Panda.
Lanjutnya, kegiatan demo itu dikawal oleh satu peleton Dalmas Polres Bima kabupaten yaang di bantu pasukan TNI, satuan Pol PP dan anggota Polsek Monta dan Parado. “Bahkan Bapak Kapolres sendiri turun ke lapangan, jangan sampai ada tindakan anarkis seperti di Kecamatan Lambu,” papar Abdullah.
Lanjutnya, aksi demo aliansi masyarakat parado sudah membakar peralatan investor dan telah membakarbas campnya. Lokasi bas camp itu, terangnya, berjarak kalau jalan kaki dari Desa Kuta akan mencapai 4 jam baru sampai. Hal itu, menandakan bahwa lokasi bas camp itu sangat jauh dari pemukiman warga Kuta. Bahkan investor mendatangkan peralatan di lokasi melalui udara dengan memakai helikopter, hal itu wajar kalau masyarakat parado tidak tahu keberadaan investornya.
Kabag OPS Indra L yang dikonfirmasi melalui HP mengatakan bahwa kini situasi di Parado sudah kondusif. “Kini sudah aman terkendali, sejak Ahad sudah diturunkan anggota dari dalmas yang dibantu anggota Kodim Bima serta anggota Polsek Monta dan Pol PP,” tandas Indra. (Ory)
Bima, KM Sarei Ndai.-
Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Kapolda NTB) Brigadir Jendral (Brigjen) Arief Wahyunadi, Ahad (13/2) melakukan silaturahmi dengan masyarakat Desa Sambori Kecamatan Lambitu di desa setempat.
Kapolda yang dikonfirmasi lewat Hpnya mengatakan bahwa dirinya sangat bersyukur karena bisa menginjakan kakinya di desa Sambori Kecamatan Lambitu. Dirinya sangat bangga atas sambutan penuh keakraban masyarakat Sambori, “Saya bersyukur karena dapat bersilaturahmi dengan masyarakat Sambori,” ujar Arief .
Dikatakanya, kedatangan ke Desa Sambori selain untuk bersilaturahmi juga untuk melihat keadaan Uma Lengge, Sebelum datang ke Sambori, orang nomor satu di Kepolisian NTB itu juga mengatakan bahwa dirinya juga sudah melihat Uma Lengge yang ada di Desa Maria Kecamatan Wawo. Pihak Kepolisian NTB sangat apresiasi dengan keberadaan Uma Lengge yang ada di dua desa itu. Uma Lengge, katanya, merupakan warisan leluhur yang perlu dilestarikan. “Uma Lengge merupakan salah satu aset budaya daerah Bima yang perlu dilestarikan,” ujar Jendral Arief.
Kapolda NTB merasa sangat besar perhatian terhadap kebudayaan daerah, hal itu di buktikan dengan dimulainya dilakukan lomba lagu daerah baik di tingkat Kepolisian Resor maupun di tingkat Kepolisian Daerah NTB. “Kebudayaan daerah merupakaan salah satu bentuk kemitraan polisi dengan rakyat, oleh karena itu harus di bangun agar terjalin hubungan yang harmonis,” tandas Jendral Arief. (Ory)